Deklarasi Damai Pilpres, Mencegah Hoax atau Seremoni Belaka?
Daftar Isi
Setelah menyepakati deklarasi damai, dua pasangan capres-cawapres sepatutnya tidak bebas melakukan segala cara untuk meraih suara terbanyak |
INDOMETRO.ID - Deklarasi damai berisi komitmen kampanye tanpa hoaks diteken dua pasangan capres-cawapres yang akan bertarung pada Pilpres 2019.
Namun beragam hoaks alias informasi bohong diprediksi akan tetap beredar selama tahapan ajang politik lima tahunan itu berlangsung.
Di berbagai platform media sosial, menurut data Biro Multimedia Divisi Humas Polri, belakangan ini beredar sekitar 3.500 konten hoaks.
KPU telah sepakat bekerja sama dengan kepolisan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi, untuk menyaring dan menutup akun-akun penyebar informasi bohong.
Namun Ketua KPU Arief Budiman berkata, penangkalan informasi bohong harus dimulai dari tim kampanye capres-cawapres.
Menurutnya, deklarasi pemilu damai yang digelar di beberapa kota menagih komitmen peserta pilpres untuk berkompetisi secara sehat.
"Manfaatkanlah masa kampanye untuk meyakinkan pemilih dengan cara menawarkan visi-misi," ujar Arief di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (23/09).
Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengklaim akan menindak anggota tim sukses mereka yang memproduksi hoaks.
Mereka membentuk Badan Pemenangan Nasional Adil Makmur untuk mengawasi seluruh isi kampanye tim pemenangan mereka.
"Ada tim yang memantau karena yang kami utamakan, informasi tersampaikan, terverifikasi, bermanfaat, dan tidak menyakitkan bagi kubu sebelah," kata Sandiaga.
Sementara sebelumnya, pimpinan di tim koalisi pasangan Joko Widodo-Ma`ruf Amin berkali-kali menyatakan tak akan memproduksi berita bohong demi meraih kemenangan.
Seperti tim Prabowo-Sandiaga, seluruh anggota pemenangan Jokowi-Ma`ruf juga mengklaim terancam sanksi jika mengumbar berita bohong.
"Kami dilarang untuk berbicara negatif tentang Pak Prabowo-Sandi, sebab pemikiran dan tindakan negatif hanya menghasilkan efek destruktif bagi masa depan bangsa," kata Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Bagaimanapun, merujuk fenomena hoaks yang berkembang sejak masifnya penggunaan media sosial, elite politik maupun penegak hukum dianggap tak dapat mencegah munculnya informasi palsu, kata pakar digital forensik, Ruby Alamsyah.
Ruby menyebut perlunya suatu lembaga independen yang dapat menjadi rujukan masyarakat memilah informasi selama pemilu.
"Sebagus apapun sistem dan lembaga yang ada saat ini, pasti apriori. Lembaga yang menjalankan tugas itu harus berintegritas tinggi dan dipercaya masyarakat, termasuk peserta pilpres," ujarnya.
Menurut Ruby, kepolisian tidak akan sanggup menindak seluruh penyebar informasi bohong. Walaupun, kata dia, penangkapan sindikat hoaks selama ini telah mulai memunculkan efek jera.
Ruby berkata, sebenarnya kepolisian dapat melacak seluruh penyebar hoaks di Indonesia. Namun langkah represif selama pemilu disebutnya berpotensi terhambat komitmen perusahaan pemilik platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Instagram.
"Penerapan General Data Protection Regulation di Uni Eropa Mei lalu, mampu mendesak mereka menuruti otoritas keamanan menanggulangi penyebaran informasi palsu, tapi regulasi itu belum ada di Indonesia.
"Mereka biasanya hanya mau bantu untuk kasus yang jelas-jelas melanggar ketentuan pidana, padahal ada ruang abu-abu untuk penyebaran informasi palsu.
"Banyak info yang mengambang, dengan permainan bahasa, banyak yang terkesan tidak melanggar hukum," ujar Ruby.
Di sisi lain, kepolisian menyatakan memiliki cukup sumber daya manusia dan sarana untuk mencegah dan menangkap penyebar hoaks. Satgas Nusantara yang dibentuk sejak Pilkada 2018 kembali ditugasi mengawasi arus informasi di media sosial.
"Satgas ini sangat efektif preventif maupun penegakan hukum," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, via telepon.
Dedi mengatakan, satgas itu tersebar dari tingkat markas besar Polri, kepolisian daerah hingga resor. Polisi yang masuk dalam satgas ini berjumlah lebih dari 2.500 orang.
Kepolisian, kata Dedi, akan mengutamakan pencegahan hoaks selama pemilu. Setiap dugaan pelanggaran pidana pemilu akan disaring oleh Bawaslu sebelum diserahkan ke penegak hukum.
BACA JUGA:
Sekjen PAN: Burung Ma’ruf Tidak Terbang Gara-Gara Belum Sarapan
"Kami mengutamakan patroli siber dan pengawasan serta sosialisasi kepada masyarakat untuk bijak menggunakan media sosial dan tak mudah menyebarkan berita yang belum terverifikasi," kata Dedi.
Sejak awal 2018, kepolisian berulang kali menangkap produsen berita palsu, dari sindikat Saracen, Muslim Cyber Army hingga pelaku perorangan.
Namun Jasriadi yang disebut petinggi Saracen divonis bersalah bukan dalam kasus hoaks, melainkan akses ilegal ke akun Facebook milik orang lain.
Juni lalu Pengadilan Tinggi Riau memperberat hukumannya dari 10 bulan menjadi dua tahun penjara.
Kepolisian berkeras, meski vonis hakim tak sama seperti tuduhan yang mereka buat, melalui Saracen, Jasriadi dan sejumlah koleganya, disebut menyebar berita bohong.
Adapun masa kampanye pilpres dimulai 23 September kemarin hingga tiga hari sebelum pemungutan suara yang dijadwalkan berlangsung 17 April 2019.(vv)
Posting Komentar