Penegakan HAM, Bagaimana Nasibnya?
Daftar Isi
Novel Baswedan |
Selain kasus lawas seperti tewasnya pegiat HAM Munir Said Thalib, wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), Marsinah, hingga kasus kriminalisasi penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan yang terjadi di era Jokowi pun hingga kini belum sanggup diungkap.
"Ini ada titik lemah, ada rantai lemah. Soal Munir, Udin, Marsinah, Novel (Baswedan) tidak selesai. Itu menurut saya pemerintah ndak boleh melupakan," kata Buya Syafii.
Sekadar mengingatkan, pada Pilpres 2014 lalu Jokowi-Jusuf Kalla menjanjikan berbagai program terkait HAM yang dimuat dalam visi-misinya. Janji-janjinya itu adalah; Pertama, memasukkan materi tentang HAM pada kurikulum pendidikan umum. Kedua, menyelesaikan masalah HAM masa lalu dan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer.
Untuk penanganan kasus HAM masa lalu, salah satu poin dari 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum, pasangan ini berkomitmen akan menyelesaikan kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Lantas apakah benar penilaian Buya Syafii ini? Kepada Rakyat Merdeka, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan penilaiannya dan ditanggapi oleh Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Johnny G Plate.
"Ini ada titik lemah, ada rantai lemah. Soal Munir, Udin, Marsinah, Novel (Baswedan) tidak selesai. Itu menurut saya pemerintah ndak boleh melupakan," kata Buya Syafii.
Sekadar mengingatkan, pada Pilpres 2014 lalu Jokowi-Jusuf Kalla menjanjikan berbagai program terkait HAM yang dimuat dalam visi-misinya. Janji-janjinya itu adalah; Pertama, memasukkan materi tentang HAM pada kurikulum pendidikan umum. Kedua, menyelesaikan masalah HAM masa lalu dan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer.
Untuk penanganan kasus HAM masa lalu, salah satu poin dari 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum, pasangan ini berkomitmen akan menyelesaikan kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Lantas apakah benar penilaian Buya Syafii ini? Kepada Rakyat Merdeka, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan penilaiannya dan ditanggapi oleh Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Johnny G Plate.
BACA JUGA :
Johnny G Plate: Kasusnya 20 Tahun Lalu, Jokowi Belum Jadi Walikota
Buya Syafii menilai penegakan kasus HAM di era Jokowi dianggap masih lemah. Apa tanggapan Anda atas penilaian tersebut? Masalah HAM yang mana? Eranya Pak Jokowi ini justru berpihak pada HAM kok. Lembaga-lembaga adat diperkuat, perhutanan sosial dilaksanakan, sehingga keberpihakan negara terhadap lahan usaha masyarakat itu tinggi. Jutaan hektare lahan usaha itu diberikan kepada masyarakat, dan dibiarkan untuk dikelola oleh masyarakat. Berarti pemerintah itu berpihak pada masyarakat.
Hak usaha untuk mengelola lahan itu dijaga betul oleh pemerintah. Lalu ada juga soal partisipasi perempuan. Program PKH (Program Keluarga Harapan), program BOS (Bantuan Operasional Sekolah), JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), dan sebagainya itu sangat berpihak kepada masyarakat. Peran perempuan pun terus ditingkatkan selama Pak Jokowi-JK melaksanakan pemerintahannya.
Tetapi hingga kini kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum juga tuntas. Padahal itu menjadi salah satu janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Itu bagaimana?
Pak Jokowi-JK dan Kiai Ma'ruf ini kan tidak tersangkut sama sekali dengan kasus HAM berat. Mereka sama sekali tidak tersangkut, dan mereka tentu membantu menyelesaikan secara adil. Pak Jokowi akan terus berusaha, supaya masalah HAM berat masa lalu itu bisa diselesaikan secara adil. Tapi hal itu tidak bisa dipaksakan. Karena apa? Karena harus melalui rekonsiliasi sosial yang berkeadilan. Itu tidak bisa dipaksa-paksa. Nah, Pak Jokowi, Kiai Ma'ruf, serta Pak Jusuf Kalla tidak punya masalah pelanggaran HAM berat. Pak JK bahkan menjadi negosiator untuk menyelesaikan kasus HAM di Aceh.
Dengan pengalaman yang begitu luas, dia terus berusaha menyelesaikan masalah HAM masa lalu. Kalau mau evaluasi, evaluasilah programnya. Jangan hanya evaluasi Jokowi-JK, dan yang jadi paslon itu Jokowi-Ma’ruf.
Tetapi kenyataannya banyak kasus HAM berat masa lalu yang belum selesai. Bahkan di era Jokowi muncul kasus kriminalisasi terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang hingga kini juga belum terungkap?
Memang, tapi itu belum selesai karena memang tidak gampang. Marsinah dan Munir itu dari zamannya presiden siapa itu belum selesai? Sudah berapa presiden tuh tapi belum selesai juga? Memang eranya Jokowi sendiri? Kan tidak, sudah ada beberapa presiden yang mengurusi kasus ini, tapi belum juga tuntas. Kalau soal kasus Novel Baswedan itu kasus kriminal. Aparat harus selesaikan. Kami dari TKN, termasuk Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf berharap aparat hukum bergerak menuntaskan kasusnya. Dengan menggunakan aturan dan norma hukum yang ada, tidak boleh diintervensi. Berikan keleluasaan kepada kepolisian untuk mengerjakannya secara profesional. Tapi apa yang ingin dilakukan dari mereka? Intervensi. Kalau presiden intervensi di kasus Novel Baswedan, demi keadilan hukum, maka kasus lainnya juga harus diintervensi. Kalau itu terjadi dan semuanya diintervensi presiden, maka hukum tidak lagi jadi panglima. Kita kan ingin pemerintahan yang demokratis dengan berlandaskan hukum, bukan pemerintahan otoriter. Kalau hukum diintervensi itu bukan lagi negara hukum. Dulu kita melaksanakan reformasi supaya pemerintahan kita demokratis. Jadi jangan ditarik kembali, memperjuangkan gaya kepemimpinan yang otoriter.
Memang sejauh ini apa saja upaya yang sudah dilaksanakan guna menuntaskan kasus HAM masa lalu?
Macam-macam usahanya, silakan tanya sendiri sama polisi, tanya sendiri pada tim-tim yang bekerja. Masak semuanya presiden yang harus mengurusi. Kasus Novel harus diurus, pembunuhan sana, pembunuhan sini harus diurus, kan enggak bisa. Kan ada pejabat-pejabat yang bertugas melakukan hal itu. Presiden ini kan kepala negara dan kepala pemerintahan. Masalah yudisial kita harus biarkan berjalan secara independen, dan bebas tekanan dari eksekutif. Dia harus berjalan independen dengan tidak diintervensi oleh eksekutif.
Berarti bukannya enggak mau intervensi ya?
Bukan enggak mau, salah kalau bilang enggak mau. Tapi pemerintah memang tidak boleh mengintervensi judicial system, itu bagaimana negara demokrasi dan hukum bejalan. Kalau mau dan melakukan intervensi atas hukum itu negara otoriter. Diktator itu namanya, tidak boleh. Jadi mau pemerintahan otoriter atau demokratis? Kalau otoriter gampang, presiden langsung perintahkan saja, tangkap orang itu mau benar atau tidak. Tangkap dulu biar puas orang-orang. Kalau di negara demokratis yang begitu tidak boleh, harus ikut proses hukum.
Di negara demokratis itu bisanya dengan cara memberikan pengawasan politik, berikan evaluasi dalam sidang kabinet, bagaimana supaya efektif pelaksanaan hukumnya, disediakan anggarannya. Itu yang harus dilakukan, dan itu sudah dilakukan oleh pemerintahannya Pak Jokowi. Terkait kasus HAM masa lalu, seperti Marsinah dan Munir tidak didiamkan, pasti sudah diperiksa prosesnya sampai dimana.
Ahmad Taufan Damanik: Sudah 4 Tahun Belum Ada Langkah Signifikan
Buya Syafii menilai penegakan HAM di era Jokowi masih lemah. Kalau berdasarkan pandangan Komnas HAM bagaimana?
Tergantung isunya ya. Kalau untuk pelanggaran HAM berat, memang kami masih mengkritisi, karena sudah empat tahun berjalan, belum kelihatan langkah yang betul-betul signifikan. Terutama dalam meneruskan 10 berkas penyelidikan, yang sudah diberikan oleh Komnas HAM kepada Jaksa Agung. Sampai hari ini kan itu belum ada perkembangannya.
Kalau untuk kasus HAM ringan bagaimana?
Bukan ringan, yang biasalah ya. Dalam hal ini kami melihat memang ada beberapa perkembangan. Misalnya pemerintah sudah membentuk tim reforma agraria, ada perpres penanganan masalah agraria, lalu ada kebijakan untik perhutanan sosial, dan lain-lain. Itu semua kami apresiasi sebagai langkah yang baik. Tetapi kami juga masih melihat ada berbagai masalah di lapangan, khususnya terkait dengan investasi. Misalnya investasi perkebunan, pertambangan, dan lain-lain masih ada berbagai kasus yang melibatkan masyarakat di daerah tempat investasi dilakukan. Dalam hal pembangunan infrastruktur juga sama, kami menemukan beberapa kasus, di mana pembangunana itu justru menyebabkan masyarakat terpinggirkan. Solusi yang diberikan kerap tidak terpikirkan.
Contohnya?
Misalnya kasus tempo hari di Kendal, dimana masyarakat setempat menolak karena kompensasinya tidak sesuai. Apraisalnya dianggap tidak dilakukan dengan baik, sehingga dia mengadu ke Komnas HAM. Kami sudah minta supaya tunggu dulu sampai ada mediasi, tapi ternyata pelaksanaan proyeknya jalan terus. Lalu di Kulonprogo juga sempat terjadi konflik. Komnas HAM sudah turun ke sana untuk memediasi, karena ada warga yang belum bersedia menerima kompensasi, karena merasa tidak adil. Tapi sebagian yang lain sudah menerima kompensasi dan relokasi. Yang juga cukup memprihatinkan itu adanya kriminalisasi terhadap petani, dan tokoh aktivis agraria. Masalah ini sudah mendapat perhatian dari kalangan internasional. Kami sudah dapat banyak surat dari luar negeri, yang menanyakan kenapa ada orang yang memperjuangkan hak mereka karena dirugikan suatu tambang misalnya, tapi justru dipidanakan dengan tuduhan macam-macam. Ada berbagai kasus seperti itu.
Jadi secara keseluruhan seperti apa penilaian Komnas HAM?
Jadi satu sisi ada kebijakan yang kami lihat sudah progresif, tapi di sisi lain masih ada kasus-kasus seperti ini, di mana kadang-kadang terjadi kekerasan di lapangan. Petani mengalami kekerasan dari aparat atau preman yang dikerahkan, atau pihak-pihak lain. Sehingga mereka tidak hanya kehilangan haknya, tetapi juga mengalami berbagai tekanan tersebut. Semua itu sudah tuntas kami sampaikan semuanya kepada pemerintah. Nah, yang juga enggak kalah pentingnya adalah soal penanganan keberagaman. Indonesia ini kan negeri yang beragam. Karena itu sejak berdiri, dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita, agar bisa mengaja kebhinekaan kita. Semuanya harus memiliki hak yang sama. Tetapi dalam kenyataannya, dari hari ke hari terjadi praktik tirani kriminalitas oleh mayoritas, terhadap minoritas. Ada kelompok tertentu yang merasa didiskriminasi, merasa kebhinekaan tidak dilaksanakan dengan benar. Misalnya masyarakat adat, dan kelompok-kelompok agama minoritas. Mereka bukan hanya didiskriminasi, tetapi juga dipersekusi. Tidak hanya kelompok Islam yang mendiskriminasi Kristen, tetapi kadang di tempat tertentu Islam juga didiskriminasi oleh Kristen. Atau di antara umat beragama yang sama juga bisa terjadi demikian.
Anda tadi bilang sampai terjadi kriminalisasi di lapangan. Bisa dijelaskan seperti apa kriminalisasinya?
Ya perusahaannya kan masih menjadi masalah. Jadi ada protes dari masyarakat kenapa mereka beroperasi, tetapi enggak memperhatikan dampak lingkungan. Sehingga sawah mereka jadi tidak produktif, rusak, dan sebagainya. Nah mereka protes itu. Mestinya kan terhadap kerusakannya itu yang harus dicarikan jalan keluarnya, bukan malah mempidanakan mereka. Orang yang sedang memperjuangkan haknya itu malah dikriminalisasi, dengan tuduhan yang macam-macam dan tidak berdasar.
Berarti secara keseluruhan menurut Komnas HAM penegakan HAM saat ini masih lemah ya?
Ya kita sebetulnya punya banyak kemajuan. Di ASEAN kami dianggap sebagai negara kampiun HAM. Komnas HAM dalam pertemuan regional, selalu ditempatkan di negara yang sudah lebih maju. Filipina sekarang malah mengalami kemunduran, Thailand sekarang di bawah rezim militer. Jadi yang menonjol sekarang ya Indonesia. Tapi sebetulnya masih ada tantangan buat kita dalam berbangsa dan bernegara.(rml)
Posting Komentar