Maraknya Sengketa Lahan Antara Perusahaan Dan Masyarakat Perlu Penanganan Serius

Daftar Isi

 


Balikpapan. Indometro.id - 

Sengketa lahan antara masyarakat melawan perusahaan, tampak tidak hanya marak di wilayah Sulawesi, Sumatra, Papua, namun seakan merebak keseluruh wilayah berkembang 'sentero Nusantara". 

Termaksud beberapa Daerah Borneo, seperti Kalimantan Timur, terkhusus wilayah Kabupaten Paser, wilayah Rantau Atas Batu Sopang, Biu, Langgai, Petangis, Laburan, Muara Paser dan Sagendang serta beberapa Daerah lain seperti Dess Labangka, Api-api, Sotek dan Sepaku yang masuk kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Penajam Paser Utara (PPU).

Problematika sengketa yang berkembang, sepatutnya dapat jadi pembelajaran, semua stekholder.

Berita-berita perlawanan masyarakat demo dan bersikukuh menduduki atau melakukan penguasaan fisik atas kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, mengindikasikan adanya refresentasi kesalahan/ketidak beresan penerapan kebijakan pemerintah Daerah atau perusahaan yang dapat dikereteria sebagai suatu kesalahan patal.

Sebab paktor pendukung atas lahirnya pelawanan masif biasa memuncak karena ada akumulasi kekecewaan kelompok/masyarakat yang terlampau lama diabaikan. Ditambah adanya bukti-bukti baru dan dukungan kontrol publik yang menguat serta lahirnya perubahan-perubahan kebijakan pusat hingga ke Daerah yang secara dejure mulai berpihak pada masyarakat yang selama ini secara defakto termarginalkan oleh sikap oknum-oknum penguasa Daerahnya sendiri.

Belajar pada sejarah. Sebelum adanya pencabutan pasal 21 dan 27 UU No.18 tahun 2004, masyarakat cendrung pesimis saat ingin melakukan perlawanan atas kolaborasi kejahatan penguasa dan pemodal. Karena terdoktrin takut dalam mengkeritik suatu arogansi sikap kong kalikong penguasa dan pengusaha yang menguasai lahan-lahan warga dengan biaya sekecil-kecilnya, bahkan bisa tanpa biaya ganti rugi sepeser pun.

Endingnya, atas sikap pesimistik warga tersebut, banyak pemodal-pemodal yang semakin ketagihan, hingga liar berpikir untuk mengembangkan sayap hanya mendekati segelintir oknum pemegang kekuasaan yang diantaranya adalah oknum Kepala Daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) baik dari pusat maupun di Daerah.

Bedasarkan izin prinsip dan izin lokasi, banyak pengusaha dengan mudah menghilangkan dan menyingkirkan bukti-bukti garapan lahan yang dikelola masyarakat terlebih dulu. Bahkan tak sedikit banyak perusahan yang terindikasi menggarap lahan di luar HGU dan izin perkebunan-nya. 

Disisi lain, masyarakat selaku kelompok kecil cendrung dituding sebagai pelaku pelanggaran, meski fakta-fakta lain sering menunjukan ada areal garapan perusahaan yang sering berdiri dan beraktifitas di atas lahan milik masyarakat dengan dasar pembebasan lahan dari pihak yang tidak jelas agar bisa dibenturkan dengan bukti-bukti hak kepemilikan masyarakat yang sebenarnya.

Minimnya pemahaman hukum masyarakat ditambah lemahnya sistem pengawasan dari kontrol sosial di wilayah sekitar, seakan menyempurnakan wujud kesewenang-wenangan kelompok pemodal yang mempertontonkan sikap arogansi dan kejahatannya "yang seakan berdaulat di Negara merdeka".

Idealnya dalam kenegarawanan, sikap pemimpin yang baik, baik itu Kepala Daerah mau pun jajarannya, mencontohkan jika Kepala Daerah bersama institusi-institusi penegak hukum lainnya dapat bersinergi menegakkan berbagai peraturan yang ada secara tranparan, provosional dan propesional. Tidak sebatas menjadikannya pelaksanaan pelayanan tugas yang tidak membekas atau yang diistilahkan para pegiat sosial sebagai patisipasi semu buat masyarakat.

Dengan kata lain, kini masyarakat mengharapkan ada sikap nyata dari para wakilnya yang telah berhasil memperoleh mandat menjadi perwakilan mereka dijabatan publik "baik yang duduk di tingkat Desa, mau pun yang duduk di tingkat Daerah", karena suara mereka harus lebih kencang saat dikeluarkan kearah telinga korporasi yang bersinggungan dengan hak-hak publik dan warga, serta bukan sikap sebaliknya.

Ditulis oleh Kabid Hukum Korps Alumni HMI (KAHMI) Paser M. Ali (F.B)

Posting Komentar



banner image