Puluhan Jurnalis di Garut Gelar Unjuk Rasa di Bundaran Simpang Lima

Daftar Isi




GARUT,indometro id– 

Puluhan jurnalis yang tergabung dibeberapa Lembaga Kewartawan di Kabupaten Garut (PWI,IWO,HIPWI,KWRI,IWO-I,AWI) yang diprakasai Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Koordinator Daerah (Korda) Kabupaten Garut menggelar aksi unjuk rasa di Bundaran Simpang Lima,  Kamis, 30 Mei 2024. Aksi ini merupakan bentuk penolakan terhadap revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dinilai mengancam kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers.


Ketua IJTI Korda Garut, Wildan Fadilah, menyampaikan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses pembahasan RUU Penyiaran tersebut hingga tidak ada pasal yang mengancam kebebasan pers. “Kami bersama IJTI Pusat dan seluruh pengurus serta anggota IJTI di berbagai wilayah di Indonesia akan terus melawan jika RUU tersebut tetap dipaksakan. Beruntung, informasi terakhir menyebutkan bahwa DPR akan menunda pembahasannya. Namun, bagi kami tidak cukup hanya menunda, tetapi harus segera mencabut dan menghapuskan pasal-pasal yang dinilai memberangus kebebasan pers,” tegas Wildan.



Wildan menambahkan bahwa IJTI Korda Garut, sejalan dengan sikap IJTI Pusat, menilai sejumlah pasal dalam draft RUU Penyiaran berpotensi membatasi kebebasan pers. “Berdasarkan informasi dari berbagai aksi unjuk rasa menolak RUU Penyiaran, DPR RI sepakat untuk menunda pembahasannya,” ungkapnya.



Anggota Komisi I DPR, Dave Laksono, menyatakan bahwa draft tersebut belum dibahas di Komisi I DPR dan baru diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg). “Harmonisasi ini bertujuan untuk memeriksa apakah ada pasal yang bertentangan dengan undang-undang lain. Pembahasannya belum sampai ke mana-mana. Semangatnya adalah memperkuat dunia penyiaran, bukan membatasi akses informasi,” ujar Dave dalam Diskusi Publik “Menyoal Revisi UU Penyiaran yang Berpotensi Mengancam Kemerdekaan Pers,” yang diselenggarakan IJTI di Hall Dewan Pers Jakarta pada Rabu, 15 Mei.


Salah satu pasal yang mendapat perhatian adalah Pasal 50B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif liputan investigasi. Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan bahwa larangan ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Ada yang toxic terhadap kebebasan pers. Kita belum tahu siapa yang memasukkan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers,” katanya.


Yadi mengungkapkan bahwa upaya merenggut kemerdekaan pers sudah berlangsung sejak 2007 dan terus berlanjut hingga RUU KUHP tahun 2024. “Data menunjukkan bahwa intervensi terhadap kemerdekaan pers terus berlangsung,” sambungnya.


Sementara itu, pemerhati media, Wina Armada, mempertanyakan inisiator pembungkaman kebebasan pers melalui pasal kontroversial dalam revisi undang-undang penyiaran. “Ini undang-undang yang penuh paradoks dan kacau balau,” ujarnya. Menurut Wina, draft RUU Penyiaran yang beredar luas menjadi ancaman terhadap demokrasi dan kemerdekaan pers. “Ini lebih buruk dari orde baru,” ungkapnya.


Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, meminta DPR untuk tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang. “Ada beberapa pasal yang merugikan jurnalis. Jadi, sikap kami adalah jangan sampai RUU ini disahkan terburu-buru,” ujarnya.


Lebih lanjut ia mengatakan, kekhawatiran ini muncul karena masa jabatan DPR akan berakhir pada 30 September 2024, dan RUU tersebut direncanakan selesai sebelum masa jabatan berakhir untuk menghindari penundaan lebih lanjut. “Jika buru-buru menyelesaikan, akibatnya akan sangat buruk dan yang paling terdampak adalah publik. Itu yang paling berbahaya,” katanya.


Herik menegaskan bahwa IJTI menolak pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang menghalangi tugas jurnalistik dan kemerdekaan pers. Aksi penolakan akan terus berlangsung hingga DPR mencabut pasal-pasal yang merugikan tugas jurnalistik.

(***)



Posting Komentar



#
banner image