Milenial Nilai Demokrasi Indonesia Buruk
Daftar Isi
Ilustrasi |
Atma Jaya Institute of Public Policy (IPP) baru-baru ini menyelenggarakan survei yang melibatkan 1.388 anak muda di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Survei yang merupakan kolaborasi IPP dengan Fakultas Psikologi serta Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (Fiabikom) Unika Atma Jaya tersebut berfokus pada persepsi kaum milenial dan generasi Z terhadap demokrasi dan politik, media, serta kesiapan dalam menghadapi bonus demografi.
Survei yang merupakan kolaborasi IPP dengan Fakultas Psikologi serta Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (Fiabikom) Unika Atma Jaya tersebut berfokus pada persepsi kaum milenial dan generasi Z terhadap demokrasi dan politik, media, serta kesiapan dalam menghadapi bonus demografi.
Dari survei tersebut terungkap, 65 persen (914 orang) responden merasa kualitas demokrasi Indonesia terbilang buruk dan sangat buruk. Politisasi isu agama menjadi alasan nomor satu (45 persen), disusul hoax (22 persen), korupsi (17 persen) dan radikalisme (11 persen). Meski demikian, sebanyak 72 persen dari responden mengaku akan tetap memilih pada pilpres tahun ini.
BACA JUGA:
“Kaum muda ternyata memiliki optimisme untuk mewujudkan politik dan demokrasi Indonesia yang rasional. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa siapa-pun yang akan menjadi presiden di tahun mendatang seharusnya melihat kaum muda sebagai agen perubahan untuk politik yang lebih bermartabat,” papar Indro Adinugroho, dosen Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya, Jumat (1/3).
Dari sisi penggunaan media, sebanyak 71 persen responden menjadikan media sosial sebagai referensi utama mereka, disusul media daring (20 persen) dan televisi (5 persen). Platform media sosial yang menjadi favorit mereka adalah Instagram (57 persen), YouTube (14 persen) dan Twitter (13 persen). Sebanyak 1.161 responden juga mengaku menggunakan media sosial untuk mencari informasi.
“Hasil ini mengkonfirmasi posisi kaum muda sebagai digital native. Internet bukan sekadar fasilitas teknologi bagi mereka, namun bagian dari gaya hidup. Keputusan yang mereka ambil, termasuk dalam pilihan politik, sangat mungkin ditentukan oleh apa yang mereka temukan di media sosial,” ungkap Andina Dwifatma, dosen Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya.
Survei ini juga mengungkap bahwa kaum muda perkotaan menganggap demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang baik bagi Indonesia. Alasannya, dengan demokrasi mereka dapat memperoleh keterbukaan informasi (32 persen), berpartisipasi dalam pemilihan umum (28%), dan memiliki kebebasan berpendapat (26 persen).
Optimisme juga mewarnai persepsi kaum muda mengenai bonus demografi. Sebanyak 63 persen responden mengaku siap bersaing secara global. Kewirausahaan (entrepreneurship) menjadi keahlian yang dirasa paling penting untuk dikuasai (37 persen), disusul bahasa asing (26 persen) dan kecerdasan buatan (14 persen).
“Kesadaran ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Daripada menggunakan strategi yang tidak disukai oleh kaum muda seperti isu politisasi agama, lebih baik bicara hal yang penting bagi mereka, misalnya tentang kewirausahaan. Harapan kami, riset ini dapat membantu pemerintah merumuskan kebijakan yang penting dan berdampak, khususnya bagi kaum muda,” pungkas Edbert Gani, Direktur IPP, Atma Jaya.(rml)
Posting Komentar