Siswa Ikut Les Diduga Banyak Guru Di Sekolah tak Memiliki Kompetensi
Aceh Utara.Indometro.Id - Menjelang masuknya tahun ajaran baru, Khususnya orang tua yang anaknya naik ke kelas 12 ( SMA kelas 3) biasanya mulai resah. Ada kekhawatiran Apakah anaknya dapat berkompetisi menembus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sesuai minatnya? Apalagi ada yang mau ke PTN ternama di tanah air, atau melanjutkan ke sekolah kedinasan.
Femomena ini hampir tiap tahun terjadi dikarenakan proses pembelajaran di sekolah masih banyak masalah. Walaupun anak 3 tahun dididik di SMA tetapi mereka belum tentu mampu menjawab soal - soal tes rekrut PTN. Kalaupun lulus rata - rata hanya di peguruan tinggi yang persaingannya tidak ketat.
Apalagi ada siswa yang ingin kuliah ikatan dinas, maka orang tua harus mengeluarkan biaya besar membayar guru les di lembaga tertentu. Padahal anak sangat lama di titip di lembaga resmi pemerintah (sekolah) untuk dibina.
Andainya sekolah plat merah (negeri), dengan Guru PNS yang dibayar mahal plus tunjangan setifikasi berproses benar, orang tua tak payah lagi menitip anaknya untuk les berbayar mahal.
Hari ini rata-rata sekolah formal belum mampu berproses agar berjalan sebagaimana harapan. Guru umumnya tidak memiliki kompetensi, terlebih kompetensi profesional. sehebat apapun komptensi lainnya, jika guru matematika tak pahan integral atau lain misalnya, mereka mau mengajar apa.
Sehebat apapun kompetensi pedagogik dilatih, seorang pedagog yaang profesionalismenya sangat kurang pasti PBM bermasalah. Fisika mesti diajar oleh guru yang benar benar paham semua materi ajar, baik Kognitif, Psikomotorik, maupun afektifnya.
Kita bisa bayangkan ada Guru bahasa tak lancar berbahasa inggris ada di dalam kelas. Guru kimia tak pernah lihat unsur, belum lagi cara membuat larutan atau mensenyawakannya. Akhirnya siswa hanya bermimpi di sekolah yang umurnya semakin tua.
Banyak Persoalan guru PNS di sekolah selama ini, berawal dari input calon guru di perguruan tinggi. Siswa siswa pintar di SMA jarang mau kuliah menjadi guru. Mereka lebih memilih Fakultas seperti Kedokteran, Tekhnik, MIPA, Ekonomi, hukum, dan lainnya. Universitas atau Fakultas Kependidikan hanya dapat siswa rangking bawah.
Siswa kurang pintar di bentuk Universitas dengan proses yang juga mungkin "Bermasalah" menjadi guru. Lalu direkrut dan dipekerjakan di sekolah. Mereka tersebar di seluruh pelosok negeri mengajar dengan kemampuan seadanya. Akhirnya ilmu tak terdistribusi secara baik, minimal layak kepada murid.
Tahun sekitar 80 an, ada lulusan SLTA kuliah hanya 1 atau 2 tahun jadi guru PNS, sekarang mereka dipaksa harus kuliah S1. Kalau tidak akan menjadi tenaga adm di sekolah.
Akhirnya guru - guru itu kuliah untuk mendapatkan S1, namun kompetensinya tak berubah. Bagaimana bisa berubah kuliah sabtu minggu, hanya kejar tayang. Saat ini mereka itu senior di rata-rata sekolah padahal "maaf" ilmunya sudah tidak mungkin terupdate karena faktor usia.
Pada tahun 2015 seluruh guru di uji kembali kompetensinya, dibuat tes UKG online. Semua guru harus menjawab 10 modul mata uji dengan jumlah soal sekitar 120 durasi waktu juga 120 menit. Hasilnya hampir rata rata guru hanya mampumenjawab di bawah nilai 40, atau hanya bisa menuntaskan 4 dari 10 modul uji. Padahal grade kelulusan tahun itu hanya nilai 55.
Penulis juga ikut tes waktu itu, alhamdulillah satu satunya guru Fisika di Aceh Utara yang dapat menyelesaikan 8 dari 10 modul tes. Hal ini berdasarkan pemberitahuan LP2TK IPA Bandung. Hasil dapat dilihat di Rapor Pelatihan SIM PKB hingga saat ini.
Kalau hasilnya seperti ini bertahan tanpa perubahan ironis sekali, Pemerintah sudah membayar mahal guru dengan tunjangan sertifikasi setiap bulan, ditambah gaji 13 dan THR. Namun kompetensinya biasa saja bahkan di bawah grade. Seandainya ada soal siswa dan guru ikut bersamaan, ada kemungkinan nilai siswa lebih bagus dari guru.
Berpijak dari fenomena di atas maka tak bisa disalahkan jika banyak siswa setelah belajar di sekolah formal harus mendaftar Les Privat berbiaya mahal. Padahal guru les bukan produk LPTK seperti FKIP atau UPI. Lembaga les tidak percaya kemampuan lulusan Fakultas Keguruan, mereka lebih memilih guru berlatar belakang Teknik, MIPA, Ekonomi, atau lainnya.
Produk Fakultas dan Universitas non Guru kompetensinya lebih bagus dalam menyesaikan soal-soal tes masuk universitas, memiliki berbagai trik atau metode cepat menjawab soal. Sementara guru di sekolah umumnya hanya mampu mengajar soal-soal sederhana dan yang tersedia kunci jawaban.
Masih ada guru yang belajar di ruang satu sambil mengajar, berpindah ke ruang berikutnya mulai lancar begitu seterusnya. Seharusnya si pedagog mempersiapkan diri segala sesuatunya sebelum masuk kelas. Jangan mengajar sambil belajar.
Sekarang sedang eforia Kurikulum merdeka dengan Guru penggerak sebagai motornya. Apakah itu ada jaminan meningkatkan kualitas peserta didik? Bisa ya bisa juga tidak.
Melihat sekilas pola pelatihan guru penggerak, saya ikut pesimis. Mereka kurang dilatih kompetensi profesional. Pelatihan lebih fokus pada gaya pemimpin pembelajaran dengan asahan IT yang agak terpresure. Sementara rakyat membutuhkan guru lebih profesional sesuai bidang ilmu. Guru lebih mampu mengajar saintific approad, bukan hanya untuk gaya - gayaan.
Kalau guru penggerak dipersiapkan sebagai kepala sekolah atau pengawas pelatihan model itu masih oke. Akan tetapi namanya guru penggerak, mestinya setelah mendapat gemblengan berbulan - bulan profesionalisme meningkat tajam.
Terakhir bila kualitas lulusan sekolah ingin diperbaiki secara holistik, semua harus diserahkan ke orang yang benar - benar mampu mengelolanya, jangan dipolitisir. Guru harus mampu mendistribusikan ilmu sebagaimana hakikat ilmunya. Guru tak seharusnya bermain - main di dalam kelas apalagi mempermainkan murid.
Murid menjadi objek guru sekedar untuk dapat menggorogoti uang negara. Guru tak siap, tak mampu, terlanjur label, akhirnya jadi lapangan pekerjaan dengan sedikit resiko. Tiap bulan dapat transferan, gaji bulanan, tunjangan sertifikasi, dan banyak lainya. Enak sekali bermain main tak kena lumpur, pakai PDH , sepatu mengkilap, dibayar tepat waktu saban bulan bahkan sampai pensiun.
Janganlah begitu, ketika amanah sudah engkau terima kerjakanlah. Asah profesionalismemu, belajar sampai benar benar mampu dan layak .berdiri di depan kelas. Jangan biarkan siswa mencari ilmu ke lain orang setelah berlama lama bersamamu umur mereka terus bertambah dan menua, sarafnya dipenuhi sampah tak berguna yang engkau tumpahkan 3 tahun lamanya. Tak ada manfaat, tak mengubah prilakunya, rugi waktu bersamamu, sementara waktu tak bisa diputar kembali.
Jadi : Berhati - hatilah jika pilihanmu guru, kerjamu berat, tak sekedar menghabiskan waktu di ruang kelas. Jika salah berproses seharusnya sekolah mencetak bakal calon intelektual malah melahirkan para preman yang meretakkan sendi - sendi kehidupan.
Posting Komentar