MAA Himbau Seluruh Desa Dalam Kabupaten Aceh Singkil Agar Penyelesai Sengketa Dapat Diselesaikan Melalui Peradilan Adat
Hal itu disampaikan Ketua MAA Aceh Singkil H. Zakirun Pohan SAg MM saat dialog interaktif di RRI Stasiun Pemancar Aceh Singkil dengan tema “Penyelesaian Sengketa dan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) Melalui Peradilan Adat” yang berlangsung, Rabu (10/7/2024).
Dialog Budaya yang disiarkan secara langsung melalui Stasiun Pemancar Radio RRI di Kecamatan Singkil Utara itu berlangsung selama 1 jam penuh.
Selain Ketua MAA turut didampingi Kabid Adat Istiadat Sahbudin MY serta Kepala Sekretariat MAA Abd Rahman SIKom, MSi sebagai narasumber
Zakirun dalam penjelasannya, bahwa Peradilan Adat itu merupakan peradilan yang dilaksanakan oleh lembaga adat di tingkat kampung (Desa) atau mukim dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
Dan pelaksanaan Peradilan adat ini diluar dari sistem peradilan nasional. Sehingga hasil dari sebuah proses peradilan adat ini adalah sebuah keputusan terwujudnya perdamaian dari perselisihan yang terjadi di masyarakat.
“Jadi hasil keputusan dari proses peradilan adat ini tidak ada yang dimenangkan dan dikalahkan. Tapi bagaimana kedua belah pihak yang berselisih bisa saling memaafkan dan berjabat tangan,” ucap Zakirun.
Yang paling penting, payung hukum dalam peradilan adat ini telah diatur dalam UU Dasar 1945 dan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), dan kemudian dikuatkan dengan Qanun Aceh.
Yang lebih spesifik diatur dalam Qanun Aceh Singkil Nomor.9 tahun 2008 pasal 13, 14 dan 15, yang mengatur bagaimana mekanisme peradilan adat itu, jenis kasus apa saja yang bisa diselesaikan semua sudah diatur dalam qanun tersebut.
Dan pada tahun 2011 juga sudah ada komitmen bersama antara Kapolda Aceh, Gubernur Aceh dan MAA Aceh yang telah membuat kesepakatan bersama, dan dibuatlah MoU untuk penerapan peradilan adat tersebut di Provinsi Aceh.
Dan pada Diktum ke-6 untuk peradilan adat di tingkat desa adalah bersifat final dan mengikat dan tidak bisa digugat oleh pengadilan di tingkat manapun di Indonesia. “ini yang menjadi dasar peradilan adat,” sebutnya.
Kemudian pada Peraturan Gubernur (Pergub) No. 60 tahun 2013 juga diatur tentang bagaimana beracara dalam menyelesaikan perselisihan itu.
Ada 18 perkara yang bisa diselesaikan di tingkat kampung. Siapa-siapa saja yang berhak mengadilinya dan yang berhak menjadi hakim semua dijelaskan disitu.
“Yakni Imam, BPKamp atau Tuha Peut sebagai Hakim Ketua dan ada 3 Hakim anggota, kemudian ada unsur Sekretaris Desa selaku Panitera,” terang Zakirun.
Untuk pelaksanaan peradilan nya, jika tidak selesai dalam waktu 3 hari di tingkat desa, maka ada upaya hukum yang lebih tinggi lagi dan dibawa ketingkat mukim.
Selanjutnya jika 3 hari juga tidak selesai di tingkat mukim bisa lanjut laporan ke Kepolisian.
“Namun jika tidak selesai juga, sesuai Pergub diberikan kewenangan waktu penyelesaian selama 9 hari proses peradilan harus segera diputuskan dan diselesaikan,” beber Zakirun
Di tingkat mukim ini ada Imum Cik atau Imam Masjid yang dianggap cakap dan mampu kemudian ada tuha peud dan Sekretaris dari Cendikiawan Ulama dan tokoh lainnya.
Namun perlu diketahui, untuk pelaksanaan Peradilan Adat di Laut bukan kewenangan desa dan mukim mengadilinya. Tapi ada Panglima Laut, Wakil Panglima Laut serta Sekretaris, terang Zakirun.
Sementara itu Kepala Sekretariat MAA Abd Rahman, S.Ikom, M.Si menjelaskan pelaksaan peradilan adat ini mempunyai dasar hukum yang sangat kuat bahkan sudah diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 18 b ayat 2 menjelaskan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Jelas Rahman
Dan masih banyak lagi peraturan-peraturan yang menyatakan kedudukan adat sangat penting, diantaranya UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh kemudian Qanun No 9 tahun 2008 yang menjabarkan tentang jenis dan pelaksanaannya serta apa-apa saja 18 item perkara yang bisa diselesaikan dengan peradilan adat ini, terang Rahman.
Lebih lanjut Kabid Adat Istiadat MAA Aceh Singkil memaparkan, sejak lama sistem peradilan adat ini sudah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat terdahulu.
Kemudian karena zaman yang semakin berkembang sehingga pemikiran manusia semakin lebih modern. Sehingga Pemerintah juga merasa perlu untuk melindungi hak-hak peradilan adat ini di masyarakat agar lebih kuat
Maka dibuat lah Undang-Undang dan Qanun lainnya sebagai regulasi pelaksanaan peradilan adat untuk penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian dan kekeluargaan.
Kalau masalah perselisihan sudah ribuan yang sudah diselesaikan dengan peradilan adat ini. Seperti yang telah diuraikan Ketua MAA sebelumnya, ucap mantan Mukim Singkil ini.
Dan motto nya Peradilan Adat ini, seperti yang selalu diucapkan Kepala Desa, yakni bagaimana persoalan yang besar bisa dikecilkan dan persoalan yang kecil bisa dihilangkan. Dan bukan harus dibesar-besarkan.
Kemudian dicontohkannya, untuk pelaksanaan sanksi adatnya seperti pelaksanaan pertunangan selalu disampaikan oleh ninik mamak atau Keuchik (kepala desa).
Disebutkan ninik mamak, ada sanksi adat sebelum sampai ke jenjang pernikahan.
Dan jika pihak laki-laki yang melanggar maka uang yang diserahkan kepada pihak perempuan misalnya senilai Rp.40 juta akan hangus.
Dan sebaliknya jika pihak wanita yang melanggar maka sanksinya Rp.40 juta akan didobel menjadi dua kali lipat yakni Rp.80 juta, pungkas Sahbudin.
Jenis sanksi dalam peradilan adat yang dilakukan dimulai dari berupa teguran, pernyataan maaf, kemudian ada denda finansial yang selanjutnya dimasukkan sebagai kas masyarakat.
Namun jika perkelahian yang mengeluarkan darah, maka sanksinya dibayar dengan darah pula. Yang dilakukan dengan memotong ayam dan disaksikan bersama didepan masyarakat, dan dibagi-bagikan pula kepada masyarakat, tambah Zakirun.
Terpisah Kepala Sekretariat MAA Kabupaten Aceh Singkil kepada media menyampaikan tentang pelaksanaan program Dialok Interaktif melalui Stasiun Pemancar Radio RRI.
“MAA Kabupaten Aceh Singkil terus berupaya untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat Aceh Singkil tentang adat istiadat ini guna untuk mendidik masyarakat berbudi pekerti luhur, bersopan santun, berkasih sayang dan berbuat baik sesama anggota masyarakat khususnya, disamping itu agar kita terus menjaga dan melestarikan adat istiadat ini yang telah di warisankan oleh para pendahulu kita,” ungkap Rahman.
“Dengan segala keterbatasan namun MAA tetap terus berupaya untuk melakukan upaya-upaya agar program menjaga dan melestarikan adata istiadat ini tetap tersampaikan kepada masyarakat, maka kita (MAA) melakukan komunikasi dan pendekatan dengan para teman-teman pimpinan RRI Stasiun Pemancar Aceh Singkil untuk dapat membantu dan Alhamdulillah RRI SP Singkil bersedia membatu kita, maka ini kita lakukan tanpa membebani Anggaran Daerah,”jelas Rahman.
Singkil Indometro.id/ AR
Posting Komentar