Asumsi APBN 2025 dalam Perspektif Teori Ekonomi Makro

Daftar Isi

 

I Dewa Gede S.A.Y., Dosen FEB UBP Karawang

Jakarta, Indometro.id- 
Pada tanggal 28 April 2024, Komisi XI DPR RI bersama Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Plt Kepala BPS, menyepakati sejumlah asumsi dasar ekonomi makro yang akan menjadi fondasi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025. Asumsi-asumsi ini mencakup proyeksi pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, dan suku bunga Surat Berharga Negara (SBN). Dalam perspektif teori ekonomi makro, asumsi-asumsi ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

Pertumbuhan Ekonomi: Landasan Pembangunan yang Inklusif 

Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% untuk tahun 2025 mencerminkan optimisme pemerintah dalam mempertahankan momentum pemulihan pasca-pandemi. Dalam teori ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi merupakan indikator utama yang menunjukkan kondisi kesehatan ekonomi suatu negara. Pertumbuhan ini dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti peningkatan investasi, konsumsi, ekspor, dan pengeluaran pemerintah. Namun, untuk mencapai target ini, pemerintah perlu mempertimbangkan tantangan global seperti potensi perlambatan ekonomi dunia, ketegangan perdagangan internasional, serta dampak perubahan iklim.

Dalam konteks Indonesia, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% dianggap realistis namun menantang. Indonesia telah menunjukkan ketahanan yang cukup baik dalam menghadapi berbagai guncangan eksternal, seperti krisis keuangan global dan penurunan harga komoditas. Namun, untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, pemerintah perlu memperkuat kebijakan fiskal dan moneter yang dapat mendorong peningkatan investasi, baik domestik maupun asing. Selain itu, belanja negara harus diarahkan secara efektif untuk mendukung sektor-sektor strategis yang memiliki multiplier effect tinggi terhadap perekonomian.

Dalam Teori Keynesian, pemerintah dapat berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran publik. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%, pemerintah harus memastikan bahwa alokasi belanja negara benar-benar efisien dan tepat sasaran. Investasi pada infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan menjadi krusial untuk mendorong produktivitas jangka panjang dan menciptakan lapangan kerja. Namun, dalam perspektif Teori Klasik, terlalu banyak intervensi pemerintah dapat mengganggu mekanisme pasar dan mengurangi efisiensi ekonomi. Oleh karena itu, keseimbangan antara intervensi pemerintah dan peran pasar perlu dijaga.

Inflasi: Menjaga Stabilitas Harga dan Daya Beli

Tingkat inflasi yang diperkirakan sebesar 2,5% pada tahun 2025 menunjukkan optimisme bahwa harga-harga akan tetap stabil, yang merupakan komponen penting dalam menjaga daya beli masyarakat. Dalam teori ekonomi makro, inflasi yang terkendali sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah terjadinya spiral harga yang tidak terkendali. Namun, inflasi yang terlalu rendah juga bisa menjadi indikasi lemahnya permintaan agregat, yang pada gilirannya dapat menekan pertumbuhan ekonomi.

Menurut teori kuantitas uang, inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang beredar dalam perekonomian. Jika jumlah uang beredar meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan output ekonomi, maka inflasi cenderung meningkat. Di sisi lain, dalam Teori Phillips Curve, terdapat trade-off antara inflasi dan pengangguran. Pemerintah dan Bank Indonesia harus merancang kebijakan moneter dan fiskal yang mampu menjaga inflasi pada tingkat yang ideal, yakni pada kisaran 2,5%, sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan suku bunga yang tepat, serta pengelolaan ekspektasi inflasi, menjadi kunci untuk menjaga stabilitas harga.

Nilai Tukar Rupiah: Stabilitas dalam Ketidakpastian Global

Nilai tukar rupiah yang disepakati sebesar Rp16.000/USD mencerminkan upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam menghadapi volatilitas pasar global. Dalam teori ekonomi makro, nilai tukar memiliki peran yang sangat penting dalam mempengaruhi perdagangan internasional, aliran investasi, dan tingkat inflasi. Nilai tukar yang stabil penting untuk menjaga kepercayaan investor dan pelaku pasar, serta untuk mendukung stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Dalam konteks Indonesia, stabilitas nilai tukar rupiah menjadi salah satu prioritas utama, mengingat ketergantungan yang cukup besar pada impor barang dan jasa. Fluktuasi nilai tukar yang tajam dapat menimbulkan ketidakpastian yang merugikan dunia usaha, terutama bagi sektor-sektor yang bergantung pada bahan baku impor. Di sisi lain, nilai tukar yang terlalu kuat dapat mengurangi daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global, sementara nilai tukar yang terlalu lemah dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik. Oleh karena itu, kebijakan yang diarahkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar harus dikombinasikan dengan upaya untuk memperkuat fundamental ekonomi, termasuk melalui diversifikasi ekspor dan peningkatan nilai tambah produk dalam negeri.

Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity - PPP) menyatakan bahwa dalam jangka panjang, nilai tukar akan menyesuaikan diri sehingga daya beli di antara negara-negara akan setara. Namun, dalam jangka pendek, nilai tukar dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor spekulatif dan kebijakan moneter. Pemerintah dan Bank Indonesia harus terus memantau pergerakan nilai tukar dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjaga stabilitas rupiah, termasuk melalui intervensi di pasar valuta asing jika diperlukan.

Suku Bunga SBN: Menjaga Keseimbangan dalam Pembiayaan

Suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun yang ditargetkan sebesar 7,0% mencerminkan upaya pemerintah untuk menarik investasi di pasar obligasi, sambil tetap menjaga biaya pembiayaan pemerintah tetap terkendali. Dalam teori ekonomi makro, suku bunga merupakan instrumen kebijakan moneter yang sangat penting dalam mengendalikan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Suku bunga yang lebih rendah dapat mendorong investasi dan konsumsi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Namun, dalam konteks APBN 2025, suku bunga SBN sebesar 7,0% juga mencerminkan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara upaya untuk menarik investasi dan menjaga biaya utang pemerintah. Jika suku bunga terlalu rendah, investor mungkin akan kehilangan minat untuk membeli obligasi pemerintah, yang dapat meningkatkan risiko pembiayaan. Di sisi lain, suku bunga yang terlalu tinggi dapat meningkatkan beban bunga utang pemerintah, yang dapat mengurangi ruang fiskal untuk pengeluaran produktif lainnya.

Dalam Teori Fisher, suku bunga nominal terdiri dari suku bunga riil ditambah ekspektasi inflasi. Dengan target inflasi sebesar 2,5% dan suku bunga SBN sebesar 7,0%, suku bunga riil diperkirakan berada pada kisaran 4,5%. Ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha menjaga keseimbangan antara menarik investasi dan menjaga stabilitas fiskal. Namun, penting bagi pemerintah untuk terus memantau kondisi pasar dan menyesuaikan kebijakan suku bunga jika diperlukan, untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal tetap berkelanjutan.

Indikator Pembangunan: Evaluasi Keberhasilan Kebijakan

Selain asumsi-asumsi makro ekonomi, Komisi XI juga menyepakati sejumlah indikator pembangunan seperti tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan, Gini Rasio, dan Indeks Modal Manusia. Indikator-indikator ini sangat penting dalam mengevaluasi keberhasilan kebijakan ekonomi dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Misalnya, tingkat pengangguran terbuka yang ditargetkan sebesar 4,5-5,0% menunjukkan upaya untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas, sementara target tingkat kemiskinan sebesar 7,0-8,0% mencerminkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.

Dalam perspektif teori ekonomi makro, indikator-indikator ini tidak hanya mencerminkan kondisi ekonomi saat ini, tetapi juga potensi pertumbuhan ekonomi di masa depan. Misalnya, Indeks Modal Manusia yang tinggi menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Gini Rasio yang stabil menunjukkan bahwa pemerintah berhasil mengurangi ketimpangan pendapatan, yang penting untuk menjaga stabilitas sosial dan politik.

Tantangan dan Peluang dalam APBN 2025

Asumsi dasar ekonomi makro yang disepakati untuk APBN 2025 mencerminkan harapan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Namun, tantangan global dan domestik yang ada mengharuskan pemerintah untuk terus memperkuat kebijakan fiskal dan moneter, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam perspektif teori ekonomi makro, keseimbangan antara pertumbuhan, stabilitas harga, dan distribusi pendapatan merupakan kunci keberhasilan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah harus terus berupaya untuk menjaga keseimbangan ini agar Indonesia dapat mencapai tujuan pembangunan jangka panjangnya, termasuk Visi Indonesia 2045.

Penulis: I Dewa Gede S. A.Y.; Dosen Mata Kuliah Ekonomi Makro; FEB Universitas Buana Perjuangan Karawang

Posting Komentar



#
banner image