Uparengga Dharma Caruban Bekasi Ngayah di Pura Tribhuana Agung Kota Depok

Daftar Isi

Kota Depok, Indometro,- Pada Jumat, 30 Agustus 2024, suasana Pura Tribhuana Agung di Kota Depok dipenuhi oleh semangat kebersamaan dan ketulusan umat Hindu dari berbagai wilayah di Jabodetabek. Komunitas Uparengga Dharma Caruban (UDC) Kota Bekasi ikut serta ngaturang ayah menyiapkan sarana upacara Caru Panca Sanak sebagai bagian dari persiapan piodalan dan Ngenteg Linggih, yang merupakan acara besar di pura yang terletak di Jalan Kerinci Raya, Kecamatan Sukmajaya tersebut.

Puluhan umat Hindu berpartisipasi aktif dalam mempersiapkan perlengkapan upacara, berbaur dalam kekhidmatan dan kebersamaan. Kegiatan ini bukan sekadar ritual, melainkan wujud nyata dari upaya menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup, baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta, sesama manusia, maupun dengan lingkungan alam yang dalam agama Hindu dikenal dengan Tri Hita Karana.

I Made Dana, salah satu tokoh Umat Hindu dari SBN Narogong Banjar Bekasi, menekankan pentingnya makna Caru Manca Sanak dalam menjaga keselarasan hidup. Caru dengan kurban salah satunya Asu Bang Bungkem tersebut menurutnya adalah refleksi dari filosofi hidup yang seimbang, yang tidak hanya berfokus pada aspek jasmaniah tetapi juga spiritual.

“Keharmonisan itu membangun keseimbangan hidup yang akan menuntun manusia menuju kebahagiaan di dunia yang disebut Jagadhita,” ujar I Made Dana. 

Dalam kesempatan yang sama, Ketua UDC PATB Bekasi, I Gusti Ngurah Sunia, yang juga merupakan sesepuh Sub Banjar Narogong, menjelaskan lebih lanjut tentang dua aspek utama dalam pelaksanaan Caru, yaitu Sekala dan Niskala. 

“Sekala adalah aktivitas fisik yang kita lakukan, seperti membersihkan lingkungan dan bekerja. Sementara Niskala berfokus pada kegiatan spiritual atau yajña, yang merupakan persembahan tulus kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” jelas Ajik Sunia, panggilan akrabnya. 

Ia menambahkan bahwa upacara ini bertujuan untuk menetralisir energi negatif yang dapat mengganggu keseimbangan alam dan kehidupan manusia. Caru, yang berasal dari bahasa Jawa Kuna berarti hewan kurban, memiliki makna yang mendalam dalam ajaran Agama Hindu.

 “Prosesi pengurbanan hewan ini merupakan bentuk persembahan kepada Tuhan sekaligus doa untuk makhluk-makhluk di bawah kita agar mendapatkan kedamaian dan penyucian dari Tuhan. Unsur-unsur seperti daging dan darah digunakan dalam banten caru karena dipercaya dapat menetralisir kekuatan alam yang bersifat negatif, sehingga tercipta kedamaian dan ketenangan”, terangnya.

Selain aspek spiritual, Ajik Sunia juga menyoroti manfaat ekologis dari upakara caru. Penggunaan bahan organik seperti daging dan darah yang ditanam dalam tanah dipercaya dapat meningkatkan kesuburan tanah di sekitar pura. Secara teologis, Caru juga memiliki fungsi untuk menenangkan para bhuta kala, kekuatan alam yang dianggap dapat mengganggu kehidupan manusia jika tidak diseimbangkan. Teks-teks kuno seperti lontar Purwa Bhumi Kamulan dan Kala Tattwa menjadi acuan dalam pelaksanaan upacara ini, yang menunjukkan betapa dalamnya makna dari setiap elemen yang digunakan.

Upacara Caru di Pura Tri Bhuana ini tidak hanya memperlihatkan keindahan tradisi Hindu, tetapi juga menegaskan fleksibilitas agama Hindu dalam memberikan ruang bagi umatnya untuk menyiapkan sarana upakara sesuai kearifan lokal, kemampuan dan keterampilan masing-masing.

“Caru adalah wujud kepedulian umat Hindu untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, demi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk hidup,” pungkas Ajik Sunia.

(Dewa)

Posting Komentar



banner image