Sengketa yang terjadi di wilayah Laut China Selatan merupakan salah satu sengketa di kawasan Asia yang sampai saat ini belum menemui jalan keluarnya, sengketa ini melibatkan Tiongkok dan banyak negara di kawasan ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, dan Filipin, beberapa negara lain di kawasan ASEAN-pun turut menjadi negara yang terlibat di dalam sengketa ini seperti Indonesa, dan bahkan Amerika Serikat mencoba memasukkan pengaruhnya lewat sengketa wilayah ini.
Sengketa ini akhirnya menjadi perhatian dunia mengingat bahwa wilayah yang diperebutkan oleh negara-negara terkait adalah wilayah yang menjadi jalur perdagangan, wilayah yang memiliki sumber daya laut yang melimpah, serta kemungkinan dampak sengketa lebih jauh seperti perang bukan merupakan sebuah hal yang mustahil terjadi apabila sengketa semakin memanas.
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah wilayah yang memiliki luas kurang lebih 35.000.000 km dan sumber daya alam yang melimpah tidak heran Laut China Selatan menjadi sebuah wilayah yang diperebutkan oleh banyak negara (Mokhammad, 2020).
Potensi sumber daya laut yang dimiliki oleh wilayah Laut China Selatan atau dikenal juga Laut Tiongkok Selatan ini menjadi salah satu dari beberapa alasan mengapa wilayah ini diperebutkan oleh banyak negara, wilayah ini memiliki kekayaan ikan yang sangat melimpah dimana ini kemudian menjadi modal awal dari bergeraknya sistem ekonomi di berbagai negara terkait.
Berdasarkan Cruz-Trinidad dkk (2009) dikatakan bahwa sebanyak 30-60% rumah tanggga yang berasal dari kota-kota di pesisir Filipina memanfaatkan perikanan untuk mendapatkan pekerjaan, dan sebagai penguat dari hal ini menurut Zhong, H., & White, M. (2017) pada tahun 2012 Laut China Selatan menyumbang sebanyak 12% untuk total tangkapan ikan dunia dan mempekerjakan lebih dari 3,7 juta orang yang menghasilkan milliaran dollar setiap tahunnya (Hidayat, 2024).
Dan untuk wilayah yang dispesifikasikan pada wilayah ini adalah kawasan laut dan daratan di kepulauan Paracel dan Spartly (Junef, 2018).
Selain itu potensi lain di kawasan ini adalah letaknya yang startegis, dimana wilayah Laut China Selatan ini sering dijadikan sebagai jalur pelayaran untuk perdagangan barang dan jasa, hal ini terjadi sejak zaman kerajaan ada di wilayah Asia, kerajaan-kerajaan di Asia silih berganti dalam mengendalikan wilayah ini dengan tujuan yang sama seperti sekarang, yaitu mengambil keuntungan dari wilayah ini (Maksum, 2017).
Laut China Selatan diidentifikasi sebagai sebuah wilayah yang menjadi jalur perdagangan bagi sepertiga hasil martimim dunia, rute ini juga menampung lebih dari 60% aktivitas armada dagang tahunan secara global (Hidayat, 2024).
Dalam Buszynski (2012) konflik yang terjadi di wilayah ini adalah konflik yang hadir karena tumpang tindih atas banyaknya negara yang mengklaim bahwa wilayah ini atau setidaknya sebagian dari wilayah ini adalah milik negaranya (Sudira, 2014).
Hal ini bermula saat Pemerintah Tiongkok mengklaim kepemilikannya terhadap wilayah ini melalui peta pada tahun 1947, peta ini menunjukkan sebelas garis putus-putus (U-shaped eleven-dash line) yang kemudian bertransformasi menjadi sembilan garis putus-putus yang menghapus dua garis sebelumnya apda masa Premier Zhou Enlai (Thontowi, 2018).
B. Dinamika Geopolitik
Klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok memicu kemarahan oleh negara- negara lainnya mengingat bahwa saat Tiongkok menyatakan klaim tersebut, Vietnam dan Filipina sedang mengurusi klaim yang sama di Fransisco. Akibat dari klaim yang dilakukan oleh Tiongkok ini ada banyak konflik yang terjadi antara negaranya dengan negara- negara di ASEAN.
Vietnam adalah salah satu negara yang memberikan klaim atas Pulau Paracel dan Kepulauan Spratly lalu menuntut serta mengecam berbagai hal yang dilakukan oleh China di wilayah perairan tersebut seperti penangkapan sumber daya laut, yaitu berupa ikan di wilayah tersebut.
Vietnam memperkuat klaim mereka atas Laut China Selatan berdasarkan historis dimana wilayah Kepualuan Paracel dan Spratly merupakan wilayah yang masuk ke negaranya sejak abad ke 17 di dalam distrik Binh Son Vietnam (Sulistiyani, 2016).
Filipina sendiri mengkaliam bahwa berdasarkan penemuan yang dinyatakan oleh Tomas Cloma di dalam "terra nullius" bahwa kepemilikan atas seluruh wilayah yang terdiri dari 33 pulau di Kepulauan Spratly sebesar 64,9776 mil persegi yang ditemukan olehnya pada 1947.
Sedangkan atas pertimbangan dan setelah Perjanjian Perdamaian San Fransisco 1951 bahwa pada tahun itu Kepualauan Spratly adalah di bawah kedaulatan negara sekutu. Dan pada tahun 1974 Cloma memberikan klaim Kepulauaan Kelayaan dan kemudian negara ini memduduki beberapa wilayah di Kepulauan Spratly (Sulistiyani, 2016).
Sedangkan Malaysia sendiri mengklaim wilayah Kepulauan Spratly ini berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen, dimana sebagian wilayah Kepulauan ini masuk ke dalam wilayah Landasan kontinen Malaysia. Dan Brunei Darussalam adalah negara yang memberikan klaim atas wilayah Laut Kepulauan Spratly atas dasae aturan dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Sulistiyani, 2016).
Dan bagi Indonesia sendiri konflik Laut China Selatan dapat mengacam kepentingan dan kedaulatan Bangsa Indonesia, hal ini dinyatakan atas dasar bahwa konflik yang terjadi dapat menjadi gangguan di kawan Laut Natuna milik Indonesia dan perdagangan internasional (Fajrina, 2020).
Dinamika yang terjadi antara negara ini kemudian menjadi sebuah permasalahan geopolitik yang serius karena sengketa inisudah berlangsung lama dan menimbulkan sentiment yang tinggi karena kurangnya sikap kooperatif beberapa negara dan sulitnya menyatukan persepsi nasional dan kepentingan bersama, sehingga kekuasaan di kawasan tersebut menjadi tidak seimbang (Fajrina, 2020).
Dalam merespon konflik yang terjadi di kawasan ini, negara negara lain yang bergantung dalam hal jalur maritim di kawasan ini juga berusaha menentang kekuasaan penuh Tiongkok di kawasan ini dengan alasan bahwa dapat menambah beban biaya yang akan ditanggung oleh mereka untuk kepentingan navigasi komersial dan izin Tiongkok.
Dan di sisi lain, Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki kekuatan besar di dunia yang memiliki kekuatan besar tak ingin kehilangan eksistensinya di dalam konflik kawasan tersebut. Salah satu hal yang dilakukan Amerika Serikat adalah menjalin hubungan dengan Vietnam dalam hal menjual senjata dan bekerja sama dengan Vietnam di bidang militer.
Amerika Serikat juga melakukan kegiatan eksplorasi sumber daya pada tahun 2011. Selain itu, Amerika Serikat juga mengupayakan ratifikasi terhadap UNCLOS pada tahun 2012 (Bidara, 2018).
Kondisi geopolitik yang akhirnya tercipta adalah bagaimana sengketa yang terjadi menyebabkan tidak seimbangnya perimbangan kekuatan di kawasan Asia-Pasifik yang berpotensi menggangu stabilitas keamanan regional. Dan dalam merespon mengenai permasalahan ini, negara negara yang terlibat memiliki caranya sendiri dalam menggapinya seperti Vietnam dan Filipina yang mengedepankan penggunaan jalur hukum dan upaya diplomatik.
Serta Malaysia dan Brunei yang berusaha untuk bersikap diplomatis untuk menghindari konfrontasi dengan melakukan penekanan pada negosiasi damai, kerja sama regional, dan kepatuhan terhadap hukum internasional sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Sedangkan Tiongkok sendiri lebih jelas melakukan pendekatan yang sifatnya lebih tegas dan ekspansif dalam permasalahan ini (Hidayat, 2024).
C. Dampak Sekuritisasi Sengketa Laut China Selatan
Keresahan berbagai negara yang timbul akibat sengketa Laut China Selatan ini adalah isu sekuritisasi negara yang kemudian semakin meningkat bagi negara-negara yang terlibat di dalam sengketa, hal ini disebabkan ketegangan dan ketidakpastian yang hadir karena sengketa yang terjadi di kawasan in dan meningkatkan resiko terjadinya konflik.
Hal ini kemudian menyebabkan negara-negara di kawasan ini terpaksa harus meningkatkan upaya pertahanan dalam bentuk peningkatan biaya sekurititsasi sebagai untuj menghadapi ancaman dari China (Sunoto, 2023).
Sekuritas di wilayah Laut China Selatan yang tidak stabil membuat negara-negara yang terlibat atau negara yang ada di dalam kawasan yang sama harus melakukan upaya peningkatan sekuritas masing maisng negaranya, dan salah satu upaya dari dampak dilema sekuritas yang terjadi adalah peningkatan biaya sekuritisasi, entah dalam hal pelatihan militer,penjagaan yang ketat di wilayah terkait, serta pembelian senjata militer sebagai upaya pencegahan.
Kesimpulan
Sengketa Laut China Selatan merupakan konflik memperebutkan wilayah berpotensial yang sudah lama terjadi, sengketa yang terjadi tidak hanya melibatkan dua negara akan tetapi lima negara, yaitu Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam bahkan negara di sekitar wilayah ini, seperti Indonesia.
Indonesia adalah negara yang turut merasakan peningkatan tensi sekuritisasi kawasan dan ketidakstabilan geopolitik yang disebabkan oleh tidak stabilnya kawasan tersebut, dan pengaruh ketidakstabilan yang diberikan tidak hanya dirasakan oleh negara terkait, tetapi juga dirasakan oleh negara yang menggunakan kawasan ini untuk perdagangan dan bagi negara yang bergantung pada sumber daya laut.
Posting Komentar untuk "Dinamika Sengketa Laut Cina Selatan dalam Pandangan Geopolitik "