Pemidanaan merupakan suatu sanksi pidana yang diberikan oleh lembaga yang berwenang terhadap seorang yang terbukti melakukan tindak pidana secara sah dan meyakinkan. Pemidanaan atau biasa disebut sebagai hukuman pidana diberikan kepada terdakwa setelah adanya putusan pengadilan yang berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah dan setelah itu timbul keyakinan hakim sesuai pada Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) / Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Di dalam KUHP yang masih berlaku saat ini kita mengenal adanya pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan sesuai dalam pasal 10 KUHP.
Menurut data dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) per 01 Agutus 2024, jumlah kapasitas lapas dan rutan di Indonesia adalah 142.811 orang tetapi pada kenyataannya lapas dan rutan diisi oleh 273.521 orang. Dengan data tersebut, berarti overcrowding lapas dan tahanan di Indonesia mencapai 91%. Hal ini yang menyebabkan pemerintah mengambil tindakan dengan membuat aturan pemidanaan baru yaitu pidana kerja sosial untuk mengurangi jumlah penghuni lapas di Indonesia. Tentunya hal itu bukan sekedar ”jumlah penghuni” tetapi berdampak juga terhadap perekonomian negara karena memerlukan banyak anggaran untuk menampung para narapidana di lembaga permasyarakat.
Dalam belakangan ini, kerap dibicarakan dan disosialisasikan terkait pidana kerja sosial yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru atau bisa disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pidana Kerja sosial termasuk dalam pidana pokok sesuai pada Pasal 64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Pengaturan tentang Pidana Kerja Sosial ini diatur dalam Pasal 64 dan 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yaitu dengan bunyi :
Pasal 64
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok;
b. pidana tambahan; dan
c. pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Pasal 65
(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial
Setelah itu diatur lebih lanjut terkait syarat penjatuhan pidana kerja sosial pada pasal 85 ayat (1) sampai dengan ayat (8) yaitu :
Pasal 85
(1) Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Dengan adanya pidana kerja sosial yang diatur dalam Undang-Undang ini, maka secara yuridis diakui akan diberlakukannya konsep pemidanaan yang baru di Indonesia. Tentunya dalam hal ini bukanlah tanpa tujuan oleh pembuat undang-undang untuk memberlakukan pidana kerja sosial. Tujuan paling mendasar bahwa diterapkannya pidana kerja sosial yaitu mengatasi permasalahan atas overcrowding Lembaga Permasyarakatan (Lapas) oleh para Narapidana. Selain itu, tujuan dari adanya pidana kerja sosial adalah menerapkan konsep/prinsip pemidanaan yang baru yaitu menjauhkan konsep keadilan retributif (retributivsme) yang artinya bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tidak lagi semata-mata bertujuan untuk melakukan pembalasan akan tindak pidana yang terbukti dilakukannya melainkan untuk pemulihan keadilan bagi korban atau masyarakat dengan melakukan pekerjaan sosial yang tentunya akan berdampak terhadap masyarakat (restorativsme).
MASALAH YURIDIS DAN TEKNIS
Tentu di setiap kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh yang berwenang tidak akan seluruhnya sempurna. Dalam hal ini, penulis akan menguraikan beberapa masalah hukum (yuridis) dengan diberlakukannya pidana kerja sosial yaitu :
1. Kurangnya kepastian hukum
Di dalam pengaturan terkait pidana kerja sosial, belum ada undang-undang kecuali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur bahwa seseorang yang ditetapkan pengadilan bersalah (narapidana) dihukum dengan pidana kerja sosial. Selain itu, apabila memang pidana[B2] yang diatur dalam KUHP yang baru dapat diterapkan pidana sosial maka perlu diatur lebih lanjut terkait.
2. Peraturan Pelaksana belum ada sampai saat ini
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, belum diatur terkait peraturan pelaksananya. Di dalam pasal 621 Undang-Undang tersebut berbunyi Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Oleh karena itu maka peraturan pelaksana maksimal harus sudah dibuat pada tahun 2025 bulan September, maka memang urgensi pembentukan peraturan pelaksana ini harus segera dibuat. Alasannya adalah bahwa untuk mensosialisasi pelaksanaan KUHP baru secara khusus pidana kerja sosial ini membutuhkan waktu sebelum KUHP ini menjadi berlaku.
Selain itu, ada juga beberapa masalah terkait teknis pelaksanaannya dengan diberlakukannya pidana kerja sosial, dalam hal ini misalnya :
1. Anggaran biaya yang besar
Untuk melaksanakan suatu sistem pemidanaan pidana kerja sosial akan memerlukan anggaran biaya yang cukup besar. Misalnya di dalam pengawasan para narapidana yang dibebankan oleh pejabat yang berwenang (Jaksa) sesuai pada Pasal 85 ayat (8) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Tentunya dalam hal ini akan menambah wewenang dari lembaga kejaksaan untuk mengawasi narapidana yang sedang menjalankan hukuman pidana kerja sosial. Pengawasan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan tentunya akan cukup ketat dan intensif, mengingat bahwa narapidana merupakan orang yang terbukti pernah melakukan tindak pidana. Selain itu, anggaran untuk operasional pelaksanaan pengawasannya tentu bukanlah jumlah yang tergolong sedikit.
2. Tempat narapidana ditempatkan
Sampai saat ini belum ada penjelasan terkait dari peraturan perundang-undangan terhadap tempat tinggal narapidana setelah mereka menyelesaikan pekerjaan sosial yang ditugaskan. Tetapi penulis dapat mengambil suatu pemikiran bahwa narapidana yang telah menyelesaikan pekerjannya akan dipulangkan ke rumahnya masing-masing karena tidak mungkin negara menyediakan tempat khusus seperti layaknya Lembaga Permasyarakatan. Apabila negara menyediakan tempat khusus untuk para narapidana pidana kerja sosial, maka tidak menyelesaikan masalah terkait anggaran biaya yang besar dan overcrowding penjara. Selain itu, diperkuat oleh tanggapan Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. selaku salah satu bagian dari tim penyusunan KUHP yang baru dalam Acara Seminar Nasional dengan tema ”Penerapan Pidana Kerja Sosial : Potensi Keberhasilan atau Kegagalan” di Universitas Kristen Indonesia tanggal 5 Juli 2024 yaitu ”Mereka tidak ditempatkan dimana-mana, mereka pulang ke rumah....” Oleh sebab itu maka narapidana dipulangkan dan keesokan harinya bekerja kembali. Tetapi akan menjadi suatu masalah apakah dapat dipastikan terdakwa beretikad baik karena bisa saja narapidana tersebut menghilangkan diri atau tidak datang bekerja keesokan harinya.
Dengan diuraikannya beberapa masalah diatas, perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah terkait pelaksanaan pidana kerja sosial baik dari segi yuridis dan teknisnya. Memang, untuk memulai suatu hal yang baru apalagi terkait pemidanaan yang akan melibatkan banyak pihak akan sulit dilaksanakannya. Pemerintah harus menyiapkan lembaga pengawasan yaitu Jaksa sesuai yang diatur dalam KUHP baru tersebut baik secara anggaran biaya maupun pelatihan terhadap jaksa yang akan ditugaskan sebagai pengawas. Selain itu perlu adanya kepastian bahwa narapidana tidak melarikan diri atau kabur yang dijatuhi oleh putusan pengadilan yang amar putusannya menghukum terdakwa dengan pidana kerja sosial karena ini terkait keadilan pelapor.
Sesuai amanat dari konstitusi, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang artinya bahwa segala sesuatu yang ditetapkan oleh hukum harus dipastikan berjalan sesuai hukum. Menjawab permasalahan pada judul, menurut Penulis, pidana kerja sosial akan memecahkan masalah overcrowding penjara (lapas), tetapi untuk melaksanakannya akan ditemukan masalah yang cukup banyak sesuai yang telah diuraikan. Penulis berharap bahwa pemerintah telah menyiapkan untuk dapat dijalaninya pidana kerja sosial, selain itu dengan diterapkannya pidana kerja sosial akan menekan jumlah tindak pidana (kejahatan) yang terjadi di Indonesia pada masa mendatang.
sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=920
Posting Komentar untuk "Pidana Kerja Sosial sebagai Alternatif Overcrowding Penjara"