Mungkin Sudah Saatnya Rakyat Angkat Bambu Runcing

indometro.id - Habis mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, terbitlah konglomerat China. Mungkin sudah saatnya rakyat Indonesia angkat bambu runcing melawan penjajah asing. Hanya ada satu kata: lawan!


Ya, Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu menyatakan akan mengangkat mantan PM Inggris Tony Blair sebagai anggota Dewan Penasihat Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). Kini, beredar isu Prabowo akan mengangkat konglomerat asal China untuk posisi yang sama di BPI Danantara.


Isu itu pun tidak ditampik Chief Operating Officer (COO) BPI Danantara Dony Oskaria.

Menurut Dony, Presiden Prabowo yang nantinya akan mengumumkan secara resmi hal tersebut. Dony juga menyebutkan saat ini proses penilaian terhadap para kandidat Dewan Penasihat BPI Danantara masih terus dilakukan.


Jika benar nanti Tony Blair dan konglomerat asal China benar-benar diangkat Prabowo sebagai anggota Dewan Penasihat BPI Danantara, maka kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka pun pupus sudah. Terutama kedaulatan ekonomi.


Masih terbayang dalam ingatan kita ketika kedaulatan kita sebagai negara merdeka tercerabut saat Presiden Soeharto membungkuk untuk menandatangani Letter of Intent (LoI) International Monetary Fund (IMF), disaksikan Direktur IMF Michel Camdessus yang berdiri di depannya sambil tangannya bersidekap di dadanya pada 15 Januari 1998.


Terbukti kemudian, resep yang ditawarkan IMF bagi Indonesia salah alias Indonesia salah obat. Krisis moneter yang diikuti dengan krisis ekonomi, politik dan sosial pun bertambah parah di Indonesia. Empat bulan kemudian Pak Harto tumbang.


Advis yang akan diberikan Tony Blair dan konglomerat asal China, entah siapa itu, pun kita khawatirkan akan salah, sehingga Danantara pun akan mengalami salah resep dan salah obat.

BUTUH BANTUAN HUKUM ?

Pasalnya, tak ada dalam diri Tony Blair dan konglomerat China itu nasionalisme atau rasa cinta Tanah Air kepada Indonesia, sebagaimana Michel Camdessus.


Bahkan Indonesia bisa masuk jabakan Batman. Terutama kepada China. Indonesia akan terperangkap China lebih dalam lagi setelah sebelumnya banyak utang kepada negeri itu.


Bank Indonesia (BI), seperti dilansir sebuah media, mencatat posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal II-2024 mencapai US$ 408,6 miliar atau setara dengan Rp6.415 triliun (kurs Rp15.700). Nilai ULN ini meningkat sebesar 2,7% secara tahunan (year on year).


Dari data BI tersebut, Singapura diketahui menjadi pemberi utang terbesar Indonesia. Per kuartal II-2024, utang Indonesia dari Singapura mencapai US$ 54,36 miliar atau Rp853,45 triliun.


Posisi kedua ditempati Amerika Serikat (AS) US$ 27,86 miliar atau Rp437,40 triliun.

Posisi ketiga adalah China, dengan nominal utang ke Indonesia senilai US$ 23,06 miliar atau Rp362,04 triliun.


Namun, di antara ketiga negara itu, utang luar negeri Indonesia dari China diam-diam meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Pada akhir 2014, utang Indonesia dari China tercatat sebesar US$ 7,82 miliar.


Namun per akhir Juni 2024, utang luar negeri Indonesia yang berasal dari China telah mencapai US$ 23,06 miliar. Jika dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2024, peningkatan utang luar negeri Indonesia dari China mencapai 194,88%.


Daftar Negara Dikuasai China

Nampaknya China tinggal selangkah lagi benar-benar menguasai perekonomian Indonesia, sehingga aset-aset vital di Republik ini pun akan dikuasai Negeri Tirai Bambu itu.


Indonesia pun akan menambah panjang daftar negara yang dikuasai China karena tak mampu bayar utang. Sebelum ini ada sejumlah negara yang dikuasai China karena belitan gurita utang.


Sebut saja Sri Lanka. Dikutip dari sebuah sumber, Sri Lanka adalah negara yang benar-benar sudah jatuh dalam jebakan utang China.


Negeri itu gagal melunasi kewajibannya dalam mengembalikan dana pembangunan Pelabuhan Hambantota. Pelabuhan ini dibangun tahun 2008 dengan bantuan dana segar dari China sebesar US$ 361 juta (Rp5 triliun).


Pada 2016, Colombo akhirnya menyerahkan pelabuhan ini kepada perusahaan China untuk mengelolanya. Sri Lanka juga akan memindahkan angkatan lautnya. Sejumlah pihak menyakini, hal itu akan membuka peluang bagi China untuk menguasai gerak-gerik tentara Sri Lanka.


Lalu, Uganda. Negara ini dilaporkan tengah berusaha mengubah perjanjian pinjamannya dengan China untuk memastikan sejumlah aset tidak hilang karena default (gagal bayar). Antara lain bandara internasional Entebbe.


Kemudian Kenya. Negara ini juga diyakini akan gagal membayar utang ke China. Hal itu terkait pembangunan proyek kereta api (Standard Gauge Railway/SGR) di negara Afrika tersebut, antara Mombasa dan Nairobi.


Kenya awalnya meminjam US$ 3,6 miliar dari Bank EXIM China, guna membangun rute dari Mombasa ke Nairobi. Pemerintah lalu meminjam lagi US$ 1,5 miliar untuk memperpanjangnya ke Naivasha, sebuah kota di Central Rift Valley.


Berikutnya Maladewa. Negara ini juga terjerat utang China.


Awalnya, Maladewa meminjam dana US$ 200 juta atau setara Rp2 triliun untuk menghubungkan pulau ibukota Male ke Pulau Hulumale, di mana bandara dan lahan luas masih banyak tersedia.


Hal ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar mengenai keterbatasan lahan properti dan akses menuju kawasan ekonomi baru. Jembatan ini rampung di 2018 dan diberi nama “China-Maldives Friendship Bridge”.


Selain jembatan, Maladewa juga terus meminjam uang untuk pengembangan infrastruktur lainnya. Pada tahun ini, beberapa mantan pejabat Maladewa dan perwakilan China menunjukkan angka utang terbaru.


Mereka menyebutkan Male berutang ke China antara US$ 1,1 miliar hingga US$ 1,4 miliar. Angka ini masih merupakan jumlah yang sangat besar untuk negara pulau dengan PDB sekitar US$ 4,9 miliar.


Berikutnya lagi mungkin Indonesia. Pada 2016, Indonesia dan China sepakat untuk membangun kereta cepat yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung. Proyek ini dirancang untuk mempercepat transportasi antara dua kota utama di Indonesia dan meningkatkan konektivitas antara kedua negara.


Melalui investasi besar dari pemerintah China, kereta cepat ini menjadi salah satu proyek infrastruktur terbesar di Indonesia.


Pembangunan proyek Whoosh ini menelan biaya tinggi. Awalnya biaya proyek hanya memerlukan investasi US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp86 triliun yang dananya ditanggung korporasi, bukan dari anggaran negara. Namun, rencana ini buyar karena ternyata biaya pembangunan membekak US$ 7,2 miliar atau Rp108 triliun.


Sementara itu, total aset awal Danantara mencapai 900 miliar dolar AS atau sekitar Rp14.670 triliun. Aset tersebut merupakan gabungan dari berbagai perusahaan BUMN yang dihimpun dalam Danantara. Ada 47 BUMN yang masuk Danantara.


Nantinya, anggota Dewan Penasihat BPI Danantara asal China itu pun cukup memberikan nasihat yang salah kepada Danantara, sehingga 47 BUMN di dalamnya akan ambruk, dan ambruk pulalah Indonesia.


Untuk itu, sebelum semua itu terjadi, mari kita ingatkan pemerintah untuk tidak mengangkat Tony Blair dan konglomerat asal China atau siapa pun dari luar negeri sebagai Dewan Penasihat BPI Danantara.


Jika Presiden Prabowo tetap bandel, mungkin sudah saatnya rakyat Indonesia turun ke jalan sambil membawa bambu runcing pertanda siaga perang untuk mengusir penjajah asing.

Hanya ada satu kata: lawan

‌(Sumber : Fusilatnews ) 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra




Posting Komentar untuk "Mungkin Sudah Saatnya Rakyat Angkat Bambu Runcing"