Selamat Datang di Era Kegelapan

indometro.id - Saya duduk di sudut kamar, menatap layar ponsel dengan tangan gemetar. Berita demi berita mengalir deras, membawa gambar-gambar mengerikan yang menusuk hati. Darah di aspal, wajah-wajah pucat ketakutan, dan jeritan yang seolah terdengar meski hanya dari video bisu. Demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dimulai sejak 20 Maret telah membakar Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, dan Yogyakarta. Api semangat rakyat yang menuntut keadilan malah dipadamkan dengan pentungan, gas air mata, dan kekerasan yang membabi buta. Hati saya bergetar, apakah ini akhir dari harapan? Apakah kita benar-benar telah tiba di pintu era kegelapan?

Revisi UU TNI yang disahkan DPR pada 20 Maret 2025, bukan sekadar beleid biasa. UU itu, merupakan belati yang ditusukkan ke jantung demokrasi. Di dalam UU TNI yang baru, memberikan hak bagi TNI untuk mencampuri urusan sipil, memperpanjang usia pensiun jenderal hingga 63 tahun (bahkan bisa lebih), dan melebarkan sayap mereka ke ranah yang seharusnya bukan milik militer.

Pasal 7 ayat 2, dengan dinginnya, menambahkan tugas TNI dalam operasi militer selain perang, dari ancaman siber, hingga “kepentingan nasional” yang samar. Saya membayangkan bayang-bayang dwifungsi ABRI era Orde Baru kembali hidup, mengintai dari balik seragam hijau, siap mencengkeram kebebasan yang telah kita perjuangkan dengan darah dan air mata di 1998 silam.

Bukan hanya UU TNI yang menghantui, Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri, RUU KUHAP, dan RUU Penyiaran yang masih bergulir di DPR adalah rantai-rantai baru yang siap mengikat kita semua. RUU Polri seolah menyiapkan polisi sebagai anjing penjaga kekuasaan, RUU Penyiaran mengancam membungkam suara pers yang menjadi napas kebenaran, dan RUU KUHAP seperti pisau yang akan memotong hak-hak kita dalam diam. Bersama-sama, mereka membentuk labirin mengerikan yang dirancang untuk menjebak rakyat, membuat kita tak berdaya, tak bersuara, tak bernyawa.

BUTUH BANTUAN HUKUM ?

Aksi demonstrasi yang meletus pada 20 Maret hingga 27 Maret 2025, adalah jerit terakhir kami sebagai sipil yang peduli. Di depan Gedung DPR, mahasiswa dan rakyat biasa berteriak hingga suara mereka serak, memohon agar nurani wakil rakyat terbangun. Tapi apa yang mereka dapat? Darah dan air mata. Amnesty International Indonesia mencatat, ada empat orang terluka di Jakarta pada 20 Maret malam—D, DH, dan RR, mahasiswa biasa yang kepalanya dipukul pentungan, lengannya memar, pundaknya terluka.

Di Malang, delapan jurnalis mahasiswa dipukuli dan diseret pada 23 Maret, alat kerja mereka dirampas, hanya karena mereka ingin dunia tahu kebenaran. Di Semarang, empat orang diringkus, tubuh mereka lebam oleh gas air mata dan kekerasan aparat pada 20 Maret. Setiap luka itu adalah luka di hati saya, setiap jeritan adalah beban di dada saya.

Lalu datanglah kengerian yang lebih dalam, di mana intelijen menyamar di antara aksi massa, membawa pistol, digunakan untuk mengancam ketika peserta aksi memukulinya. Di Malang, saksi mata bergetar menceritakan kepada Tempo pada 25 Maret 2025, tentang preman berpakaian hitam yang menyerang demonstran dan tim medis tanpa ampun. Pistol di tangan mereka bukan sekadar senjata, itu simbol ancaman, pengingat bahwa nyawa peserta aksi tak lebih berharga dari peluru. Logikaku menangis, membayangkan betapa rapuhnya kami di hadapan kekuatan yang tak punya hati ini.

Jika mereka yang berseragam, yang bersumpah melindungi, justru menjadi pemburu, lalu siapa lagi yang akan menyelamatkan kami?

Di tengah deru kekerasan ini, Presiden Prabowo Subianto memilih diam. Tak ada sepatah kata pun darinya, bahkan hanya sekedar untuk menenangkan rakyat yang menjerit. Malahan, pada 23 Maret 2025, ia terlihat tersenyum di samping Joko Widodo, berbuka puasa bersama, seolah dunia di luar sana tak sedang terbakar.

BBC News Indonesia menyiarkan gambar itu, dan saya merasa ada darah yang mendidih. Buta dan tuli, hanya itu yang bisa saya pikirkan tentang Prabowo. Rakyat berdarah-darah di jalanan, tetapi dia memilih meja makan yang hangat. UU TNI yang baru, dengan segala ancaman pembungkamannya, terasa seperti hadiah untuknya, sebuah alat untuk menghukum siapa saja yang berani bersuara.

Yang membuat hati saya semakin perih yaitu, tentang nasib polisi dan TNI yang berpangkat rendah. Mereka, yang dipersenjatai perintah dari atas, berlari ke jalanan dengan wajah penuh semangat, memukul dan menendang peserta aksi massa seolah itu sebuah trofi kemenangan. Tapi mereka tak tahu, atau tak mau tahu? Bahwa mereka hanyalah pion yang dikorbankan.

UU TNI yang baru ini bukan untuk mereka, tapi untuk jenderal-jenderal yang akan duduk nyaman di kursi sipil, menikmati usia pensiun yang diperpanjang, dan mengendalikan kami dari singgasana mereka. Saya melihat seorang polisi muda tertawa sambil memukul demonstran di video yang viral, dan saya ingin sekali berteriak padanya “Kau hanya alat, kau tak akan dapat apa-apa dari ini!”.

Dan kekerasan itu? Ya Tuhan, betapa mengerikannya ketika aparat keamanan berubah menjadi binatang buas yang haus darah. Video di media sosial menunjukkan mereka memukuli demonstran dengan pentungan hingga tulang retak, menendang tubuh-tubuh yang sudah tak berdaya di aspal, seolah peserta aksi adalah mangsa yang mereka buru dengan penuh nafsu.

Di Jakarta, Raka, seorang ojol yang tak berdemo, dipukuli hingga kepalanya berdarah pada 20 Maret 2025, hanya karena salah duga. Di Malang, tim medis yang berusaha menolong diserang, dibentak, alat mereka dirampas. Saya menutup mata, tapi gambar-gambar itu terus menghantui, wajah-wajah penuh ketakutan, tangan-tangan yang memohon ampun, dan aparat yang tertawa di atas penderitaan peserta aksi. Mereka bukan lagi pelindung, mereka psikopat yang menemukan kepuasan di dalam kehancuran.

Reformasi 1998, yang kami anggap sebagai fajar kebebasan, kini terasa seperti ilusi yang memudar. Jika suara kami dibalas dengan darah, jika kebenaran kami dipukuli hingga diam, jika mereka yang berseragam menjadi algojo tanpa hati, maka selamat datang di era kegelapan.

UU TNI, RUU Polri, KUHAP, dan RUU Penyiaran adalah tiang-tiang penjara baru yang sedang dibangun untuk kami. Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia berkata, “Ini awal yang kurang baik.” Tapi bagi saya, ini bukan sekadar awal yang buruk—ini adalah akhir dari cahaya, permulaan malam panjang yang dingin dan kelam. Dan saya tak tahu lagi bagaimana cara bertahan di dalamnya.

(Oleh :Hara Nirankara) 




Posting Komentar untuk "Selamat Datang di Era Kegelapan"